Monday, 18 July 2016

2nd short story






NOVEMBER RAIN
Nurul Islamiyati

-Sajak rindu-
Aku menatap bayangnya yang kian kabur,
Bayang yang selalu kurindu kala malam menjelang,

Bayang yang selalu kupeluk erat kala sepi menyentuhku…

Sosok itu begitu memukau,
Menggetarkan relung batin kala kumerindu.
Telah lama ia menjadi cahaya dalam pekat,
Hanya saja ia tak pernah menyadari betapa hati ingin merangkulnya erat

Untuk kau yang di sana,
Yang entah merasa atau tidak,
Aku harap kau dapat membaca sajak yang kutulis jelas untukmu,

Sajak rindu yang mengalun begitu indah,
Yang akupun tak tahu dimana awal dan akhirnya..

Tak harus kau membalas,
Cukup mengakui bahwa rasaku ini nyata…

Mungkin hanya sajak-sajak itu yang mampu mewakilkan perasaanku, perasaan yang begitu lama kupendam sendiri. Aku tak tahu entah kapan rasa ini mulai hadir dan bersemayam di lubuk hati kecil ini, tetapi aku bahagia dengan rasa yang kumiliki untuknya. Walaupun terkadang tak jarang rasa itu sendiri yang membuatku meneteskan butir-butir bening dari sepasang mataku.
Yah, inilah aku dan cintaku untuknya, yang mungkin iapun tak tahu tentang ini. Cinta sendiri, sungguh pedih bukan?
          Dia, pesonanya begitu memukau, menghipnotis setiap mata yang menatapnya. Wajahnya bersinar bak purnama di bulan juli, pembawaannya yang hangat dan humoris serta gayanya yang keren membuat siapapun betah berada didekatnya. Ia juga pandai bernyanyi dan memainkan alat musik, menambah panjang daftar kesempurnaannya.
Itu adalah daya tarik yang membuatku jatuh hati padanya. Jujur saja, aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Rain, pemilik semua kesempurnaan itu, tipe cowok idaman hampir semua siswi di sekolahku, tapi sejauh ini, aku belum pernah melihatnya dekat dengan siapapun. Setidaknya hal ini yang membuatku terus bertahan untuk memendam rasa padanya.
                                      ***
Aku ingin pagi segera menyapa, agar aku dapat melihat wajah tampannya lagi, wajah yang membuatku selalu merindu akan senyum manis yang lahir dari bibirnya.
          “Selamat pagi, pangeran hujan,” sapaku padanya ketika aku dan dia berpapasan di lorong kelas. Dia hanya melempar senyum kemudian berlalu tanpa sedikit berucap. Aku maklum, seperti itulah dia padaku, mungkin karena kami tak begitu dekat.
Bel berbunyi, tanda pelajaran akan segera dimulai. Aku bergegas masuk ke kelas dan duduk manis di bangku pojok kanan depan, hanya duduk manis tapi tak fokus pada pelajaran karena pikiranku melayang entah ke mana bersama bayangnya.
“November! Apa yang kamu pikirkan? Kenapa melamun saja? Jika tak ingin belajar silahkan tinggalkan kelas!” Kata-kata bu Dini mengagetkanku. Teman-teman menatap ke arahku, aku hanya bisa menunduk karena malu. Kemudian aku memutuskan untuk keluar dari kelas dan berjalan menuju atap gedung sekolah yang notabenenya berlantai tiga itu.
Atap adalah salah satu tempat favoritku di sekolah ini. Tak sadar, ternyata Dera mengikutiku, lalu ia berdiri disampingku. Kami diam sesaat menikmati pikiran masing-masing sebelum Dera yang akhirnya memulai pembicaraan.
“Nov, kenapa? Kamu sakit?” tanya Dera, gadis cantik yang sudah dua tahun berbagi bangku denganku.
“Aku baik-baik aja kok Der, hanya saja aku lelah.” ucapku lirih.
“Lelah? kenapa?!” tanya Dera heran.
“Aku lelah karena harus memendam dan menyembunyikan rasa yang telah lama hadir ini, dia ada di sini, dekat, tapi aku tak bisa menggapainya!” mataku mulai berkaca-kaca.
Dera menatapku lekat. “Dia ada disini? Dekat? Siapa Nov? Jangan bilang itu Rain?!” selidik Dera.
Aku diam sesaat. “Ya! dialah orangnya, Rain!” jawabku.
 “Tapi kenapa harus dia Nov?” Dera masih setengah tidak percaya.
“Lalu kenapa? Apa tak boleh?” aku menatap Dera.
 Dera merangkulku. “bukan gitu Nov, hanya saja..,”
“Sudahlah Der! lupakan saja! Anggap aku tak pernah mengatakan apapun padamu!” Aku memotong ucapan Dera, aku tak siap bila mendengar lanjutannya, mungkin sebaiknya tak kudengarkan saja. Aku menjauh meninggalkan Dera yang masih tak percaya pada pengakuanku beberapa detik yang lalu.
Entah apa yang kupikirkan, aku kalut. Aku tak tau apa yang harus kulakukan? Aku malu pada Dera, kenapa bisa aku membocorkan semua ini padanya, rasa yang satu tahun pahit dan manisnya mencintai, aku telan sendiri. Tapi jujur saja, ada sedikit perasaan lega setelah mengakui itu.
***
Seminggu setelah pengakuanku hari itu, semua kembali seperti seharusnya. Dera tak mengungkit atau bertanya kenapa aku bisa menyukai pangeran hujan itu. Pangeran hujan, panggilanku untuk Rain, karena ia begitu menyukai hujan. Ketika hujan turun, Rain selalu menikmatinya dengan berjalan dibawah guyuran hujan atau hanya sekedar menengadahkan tangannya untuk menyentuh sejuknya rinai hujan.
Berbeda halnya dengan Rain yang begitu menyukai hujan, bagiku hujan adalah petaka. Karena jika hujan hingga malam, maka aku tak bisa menikmati cahaya jingga yang tamaram di ufuk barat. Ya, senja. Senja adalah bahagiaku dan aku bahkan tak pernah lupa menikmati indahnya setiap hari.
***
          Hari ini setidaknya lebih baik dari hari-hariku sebelumnya, tak biasanya Rain menyapaku lebih dulu. Ia juga menebarkan senyum khasnya yang membuatku semakin luluh. Aku merasa selangkah lebih dekat dengannya.
Malam pun hadir, seakan ia tahu ada aku yang ingin bercengkrama dengannya.
“Wahai malam yang tak berbintang, dengarkanlah sajak rinduku
Ketika gelap semakin pekat,
Kurangkul erat bayangnya bersama penat,
Kukirimkan nada rinduku yang syahdu kepada sepoi angin malam,
Aku harap purnama disana kan merasa, setidaknya ada aku yang selalu merindu pada eloknya.”  ujarku memberitahu sang malam.
Selangkah demi selangkah aku merasa semakin dekat dengannya, entah angin muson apa yang membawanya padaku. Tapi tak kupungkiri aku bahagia, setiap pagi bertukar senyum dan sesekali bercanda bersama menikmati waktu senggang di sela-sela pelajaran. Aku menikmati senyum dan tatapan-tatapannya, meski kutahu semua itu seutuhnya bukan untukku, tapi setidaknya aku mendapatkan itu.
          “Rain, aku yang nyanyi dan kamu yang main gitar? Boleh yah?” Tanyaku penuh harap.
“Tentu, mau nyanyi lagu apa?” ucapnya dengan senyum menawan.
“Lagu rindu!” jawabku.
“Baiklah.”
Ia kemudian mulai memetik senar-senar gitarnya, lalu aku benyanyi dengan penuh perasaanku. Romantisnya..
          Setelah semua yang kami lalui, aku masih tak memiliki keberanian untuk sekedar bercerita tentang perasaanku padanya. “pendam saja dulu, ini belum saatnya!” batinku.
***
          Disaat aku yakin keberuntungan berpihak kepadaku, namun kenyataannya berkata lain. Di lain hari, aku melihat Rain bergandengan tangan dengan gadis lain, mesra sekali, dan gadis itu sepertinya aku kenal.
Oh Tuhan! Bukankah itu Dera? Gadis yang setiap harinya berbagi bangku denganku, gadis yang menyebut aku sahabatnya dan gadis yang tahu aku memendam rasa pada laki-laki tampan yang saat ini menggandeng mesra tangannya itu. Setega inikah dia?
Aku membisu menyaksikan semua ini. Senyum dan tatapan-tatapan penuh cinta terpancar dari mata Rain ketika menatap Dera. Kakiku lemas, badanku ngilu dan lidahku kelu, sesak sekali.
          Mereka melangkah ke arahku, dekat dan semakin dekat, dan kini mereka telah berdiri dihadapanku.
“Hai Nov, ini pacarku, Dera. Maaf  baru sempat kasih tahu kamu soal ini. Sebenarnya aku sama Dera sudah lama pacaran, tapi gak ada yang tahu,” ujar Rain tanpa rasa bersalah. Aku tak menjawab, mataku berkaca-kaca, aku yakin sebentar lagi butir-butir bening ini akan tumpah. Dera yang menyadari reaksiku sedikit menyimpan rasa tak enak , terlihat dari raut wajahnya.
“Nov,  kamu gak apa-apa kan?” tanya Dera khawatir.
“Aku baik-baik saja, tak usah menghawatirkanku!” jawabku sembari meninggalkan mereka dan berlari menuju atap, lalu aku menumpahkan semua pedihku bersama sepi, menangis.
Aku terbangun dari tidur panjangku,
Dan kudapati kenyataan yang lama tak kusadari jauh lebih menyakitkan dari yang pernah terbesit dalam benak sang senja..
Gadis itu..
Gadis yang selalu berada disampingku ternyata adalah pujaanmu, wahai sang pangeran hujan..
Kau tahu bagaimana aku ketika menyadari itu? Rasanya aku ingin hilang seketika dari dunia ini.
Aku berlari membawa kepingan-kepingan hati yang luka. Awan di sana mendung, lalu sepersekian detik kemudian, hujanpun mengguyur tubuhku yang lunglai dengan derasnya. Hujan yang dulu tak kusuka kini menemaniku dalam tangis, ia seakan dapat melihat rona sendu di wajahku.
“Hujan, tahukah kau kenapa aku menangis di bawah rinaimu? Itu karena pengagum yang selalu menikmati rintikmu dengan bahagia itu telah mematahkan hatiku, menyisahkan kepingan-kepingan yang entah akupun tak yakin akan bisa merangkainya kembali.”
***
Inilah titik jenuhku, jenuh setelah setahun lamanya  memendam sendiri rasa ini padanya. Pertama kali jatuh cinta, waktu itu Ia tampil membawakan sebuah lagu bersama Bandnya, saat acara perpisahan kelas12. Aku menatapnya lekat, ada rasa yang tak biasa, dan itu cinta.
Lalu ketika letih menjadi sahabat di ujung sepi, yang membesitkan untuk menjauh dan meninggalkan rasa yang kumiliki, namun senyum menawan dan mata indahnya selalu membuatku mampu untuk bertahan dan memberi setitik cahaya yang menuntunku untuk kembali pada hati yang pernah kuyakini. Tapi kini apa arti semua itu?
          Hari-hari terasa berat setelah hujan pertama awal bulan November lalu. Kini aku memilih menjauh darinya, aku tak peduli lagi pada rasaku yang mungkin menganggapku lemah karena menyerah begitu saja setelah memendam semuanya selama satu tahun. Meski bahagia kala mendapat lengkungan senyum menawan darinya masih selalu terkenang, tapi kini biarkan semua itu menjadi kenangan.
***
Tanggal 27, minggu terakhir bulan november. Aku disibukkan dengan latihan menyanyi untuk pertunjukan musik yang akan diadakan akhir tahun nanti oleh sekolahku. Aku pikir kesibukkan ini akan membuatku lupa padanya, tapi nyatanya tidak. Rain dan Bandnya juga ikut serta dalam acara ini, ditambah lagi dengan Dera yang diajaknya duet. Tak jarang aku melihat mereka latihan, membuatku semakin muak saja.
Hari ini hari minggu, tak ada aktivitas sekolah, tapi ini jadwalku untuk latihan menyanyi. Sekolah masih sepi, maklum saja aku berangkat satu jam lebih awal dari waktu latihan.
Aku melihat sosok yang tak asing disana. Rain berdiri di depan ruang latihan, kuhentikan langkah ketika melihatnya. Ia menoleh ke arahku, menatapku lalu melempar senyum, senyum yang sesungguhnya sangat kurindukan, namun aku hanya bisa meresponnya dengan ekspresi datar, kemuadian berbalik arah menuju taman belakang sekolah. Aku tak tahan jika harus berhadapan dengannya, aku takut tak dapat mengendalikan perasaanku, aku tak ingin menangis di depannya.
Rain kemudian mengejar dan menghadangku.
“Apa yang kamu lakukan?
“Minggirlah! jangan halangi jalanku!” ucapku padanya.
 “Kamu akhir-akhir ini beda, kamu semakin menjauh dari aku semenjak tahu aku dan Dera pacaran, kenapa? Kamu gak suka?” tanyanya padaku.
“Menurutmu apa? Sebenarnya jangan tanyakan itu padaku tapi bertanyalah pada dirimu!” Aku segera berlalu dari hadapannya namun ia menahan tanganku.
“Kau menyukaiku?!
Deg!!
Jantungku berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya, kalimat ini tak pernah kuprediksi sebelumnya. Aku gugup, aku tak tahu harus menjawab apa.
“Kau menyukaiku, wahai November?” ulangnya.
Mataku dan matanya bertemu namun aku segera membuang muka.
“Setelah setahun berlalu, tapi kamu baru menyadarinya sekarang? Kemana saja kamu, Rain?!” ucapku dengan suara sedikit bergetar.
 “Jadi benar kamu menyukaiku? Tapi kenapa tak pernah mengatakannya?” tanyanya lagi.
“Maaf, tapi aku tak punya banyak keberanian untuk sekedar memberitahumu, jadi aku memilih untuk memendamnya sendiri. Kamu tahu? Kamu adalah sumber dari sajak-sajak indahku, sajak yang tak pernah terbaca olehmu…” air mataku mulai mengalir perlahan.
“Tapi bukankah sangat menyakitkan memendam semua itu sendiri?” ia seakan tahu apa yang kurasakan.
“Memang, tapi apa daya? Sudahlah, lupakan saja! Jangan pedulikan rasaku lagi! Sekarang kamu telah bersama bidadari hatimu itu, biarkan rasa ini menjadi kenangan yang akan kusimpan sendiri!” Jawabku berpura-pura tegar.
“Jadi kamu percaya dengan semua itu? kamu cemburu?” mata Rain memancarkan sinarnya, lalu ia tersenyum puas.
“Apa maksudmu?” tanyaku bingung.
“semua itu hanya sandiwara belaka untuk membuatmu cemburu,” jawabnya dengan percaya diri.
“Tapi kenapa? Apa maksud dari semua ini?” aku semakin bingung.
Kemudian Dera dan teman-temanku muncul di belakangku dengan membawa kue yang dilapisi krim cokelat dan di atasnya terpasang lilin yang bertuliskan angka 17. Mereka menyanyikan lagu yang tak asing lagi. Oh, astaga! Aku lupa hari ini usiaku genap 17 tahun, sweet seventeen. Aku terpaku menyaksikan semua ini, aku kehabisan kata-kata, kejutan ini tak pernah kuduga sebelumnya.
“Selamat ulang tahun sahabat terbaikku, maaf untuk semua kebingungan ini!” Dera memelukku, akupun membalas pelukan sahabatku ini.
Kemudian Dera melepaskan pelukannya dan aku kembali menatap sosok tampan yang berdiri dihadapanku.
“Selamat ulang tahun, Novemberku. Maaf membuatmu mengeluarkan banyak air mata untuk kebahagiaan kecil ini,” Rain berbisik di telingaku, lalu ia mendekapku dengan erat. Aku meneteskan air mata haru dalam dekapan hangatnya itu.
“Tapi kalian berhutang penjelasan padaku.” Ucapku.
Rain dan yang lainnya hanya tersenyum.
          “Sebenarnya aku dan Dera hanya bersandiwara dan berbohong padamu tentang hubunganku dengannya. Aku melakukan itu untuk memastikan kamu benar-benar menyukaiku. Jujur, aku juga menyukaimu. Tapi aku butuh waktu untuk memastikan rasaku karena tak ingin menyakitimu dan aku butuh waktu satu tahun untuk mengumpulkan semua keberanian untuk mengungkapkan semua ini.” jelas Rain.
 “Rain sudah lama menyukaimu, Nov. Dia sering cerita sama aku, tapi aku gak pernah bilang ke kamu, Rain bilang belum saatnya kamu tahu tentang perasaannya.” Tambah Dera.
Aku merasa seperti sedang bermimpi, tak percaya rasanya.
“Tapi kenapa selama ini kamu cuek, Rain? Padahal aku selalu berharap bisa dekat denganmu.” Ucapku 
“Aku pikir dengan cuek padamu bisa menyembunyikan rasaku. Kamu tahu? Setiap kita berpapasan, aku sangat ingin menyapamu dan aku ingin berjalan di sampingmu kemanapun kamu pergi, tapi aku tak berani melakukan semua itu, Nov!”
Pengakuan Rain membuatku melayang ke awan, aku tak mampu untuk sekedar berkata-kata. Rain kemudian meraih kedua tanganku lalu digenggamnya erat.
“November, setelah semua yang terpendam ini, maukah kamu membuat mimpi kita menjadi nyata? Maukah kamu menjadi bidadari hatiku?” ucap Rain dengan tatapan lembut dan senyum tipis tergores di wajah tampannya.
Aku tersenyum. “Kau tahu? Kau ibarat hujan yang di nanti oleh bumi yang gersang. Lalu setelah semua pengorbanan dan lelahku menuliskan sajak-sajak indah untukmu, bagaimana mungkin aku membiarkanmu berlalu begitu saja? Tak cukupkah  semua air mataku untuk meyakinkanmu bahwa aku ingin menjadi satu-satunya bintang yang ada dihatimu?”
Rain kembali mendekapku dengan eratnya seakan tak peduli pada semua tatapan Dera serta anak-anak lain yang tertuju pada kami.
“Aku menyayangimu, terima kasih untuk semua kebahagiaan ini,” bisikku lembut padanya.
                                      ***
          Senja, kau tahu? Kini aku dan dia menjadi kita. Setelah melewati skenario panjang dengan klimaks dan anti klimaks yang tak terduga sebelumnya, aku dan dia sampai di ujung cerita yang berakhir bahagia. Rasaku untuknya terbalaskan, bukan lagi cinta sendiri atau cinta sepihak.
“Rain, kau adalah hadiah terindah untukku…”

0 comments:

Post a Comment