NOVEMBER RAIN
Nurul Islamiyati
-Sajak
rindu-
Aku
menatap bayangnya yang kian kabur,
Bayang yang
selalu kurindu kala malam menjelang,
Bayang yang
selalu kupeluk erat kala sepi menyentuhku…
Sosok
itu begitu memukau,
Menggetarkan
relung batin kala kumerindu.
Telah lama ia menjadi cahaya dalam
pekat,
Hanya saja ia
tak pernah menyadari betapa hati ingin merangkulnya erat
Untuk
kau yang di sana,
Yang
entah merasa atau tidak,
Aku
harap kau dapat membaca sajak yang kutulis jelas untukmu,
Sajak
rindu yang mengalun begitu indah,
Yang akupun tak
tahu dimana awal dan akhirnya..
Tak harus kau
membalas,
Cukup mengakui
bahwa rasaku ini nyata…
Mungkin hanya
sajak-sajak itu yang mampu mewakilkan perasaanku, perasaan yang begitu lama kupendam
sendiri. Aku tak tahu entah kapan rasa ini mulai hadir dan bersemayam di lubuk
hati kecil ini, tetapi aku bahagia dengan rasa yang kumiliki untuknya. Walaupun
terkadang tak jarang rasa itu sendiri yang membuatku meneteskan butir-butir
bening dari sepasang mataku.
Yah, inilah aku
dan cintaku untuknya, yang mungkin iapun tak tahu tentang ini. Cinta sendiri,
sungguh pedih bukan?
Dia,
pesonanya begitu memukau, menghipnotis setiap mata yang menatapnya. Wajahnya
bersinar bak purnama di bulan juli, pembawaannya yang hangat dan humoris serta
gayanya yang keren membuat siapapun betah berada didekatnya. Ia juga pandai
bernyanyi dan memainkan alat musik, menambah panjang daftar kesempurnaannya.
Itu adalah daya tarik yang membuatku jatuh hati
padanya. Jujur saja, aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Rain, pemilik
semua kesempurnaan itu, tipe cowok idaman hampir semua siswi di sekolahku, tapi
sejauh ini, aku belum pernah melihatnya dekat dengan siapapun. Setidaknya hal
ini yang membuatku terus bertahan untuk memendam rasa padanya.
***
Aku ingin pagi
segera menyapa, agar aku dapat melihat wajah tampannya lagi, wajah yang
membuatku selalu merindu akan senyum manis yang lahir dari bibirnya.
“Selamat pagi, pangeran hujan,” sapaku padanya ketika
aku dan dia berpapasan di lorong kelas. Dia hanya melempar senyum kemudian
berlalu tanpa sedikit berucap. Aku maklum, seperti itulah dia padaku, mungkin
karena kami tak begitu dekat.
Bel berbunyi,
tanda pelajaran akan segera dimulai. Aku bergegas masuk ke kelas dan duduk
manis di bangku pojok kanan depan, hanya duduk manis tapi tak fokus pada
pelajaran karena pikiranku melayang entah ke mana bersama bayangnya.
“November! Apa yang kamu pikirkan? Kenapa melamun
saja? Jika tak ingin belajar silahkan tinggalkan kelas!” Kata-kata bu Dini
mengagetkanku. Teman-teman menatap ke arahku, aku hanya bisa menunduk karena
malu. Kemudian aku memutuskan untuk keluar dari kelas dan berjalan menuju atap
gedung sekolah yang notabenenya berlantai tiga itu.
Atap adalah
salah satu tempat favoritku di sekolah ini. Tak sadar, ternyata Dera
mengikutiku, lalu ia berdiri disampingku. Kami diam sesaat menikmati pikiran
masing-masing sebelum Dera yang akhirnya memulai pembicaraan.
“Nov, kenapa? Kamu sakit?” tanya Dera, gadis cantik
yang sudah dua tahun berbagi bangku denganku.
“Aku baik-baik aja kok Der, hanya saja aku lelah.”
ucapku lirih.
“Lelah? kenapa?!” tanya Dera heran.
“Aku lelah
karena harus memendam dan menyembunyikan rasa yang telah lama hadir ini, dia
ada di sini, dekat, tapi aku tak bisa menggapainya!” mataku mulai berkaca-kaca.
Dera menatapku lekat. “Dia ada disini? Dekat? Siapa
Nov? Jangan bilang itu Rain?!” selidik Dera.
Aku diam sesaat. “Ya! dialah orangnya, Rain!”
jawabku.
“Tapi kenapa
harus dia Nov?” Dera masih setengah tidak percaya.
“Lalu kenapa? Apa tak boleh?” aku menatap Dera.
Dera
merangkulku. “bukan gitu Nov, hanya saja..,”
“Sudahlah Der! lupakan saja! Anggap aku tak pernah
mengatakan apapun padamu!” Aku memotong ucapan Dera, aku tak siap bila
mendengar lanjutannya, mungkin sebaiknya tak kudengarkan saja. Aku menjauh
meninggalkan Dera yang masih tak percaya pada pengakuanku beberapa detik yang
lalu.
Entah apa yang kupikirkan, aku kalut. Aku tak tau apa
yang harus kulakukan? Aku malu pada Dera, kenapa bisa aku membocorkan semua ini
padanya, rasa yang satu tahun pahit dan manisnya mencintai, aku telan sendiri.
Tapi jujur saja, ada sedikit perasaan lega setelah mengakui itu.
***
Seminggu setelah pengakuanku hari itu, semua kembali
seperti seharusnya. Dera tak mengungkit atau bertanya kenapa aku bisa menyukai
pangeran hujan itu. Pangeran hujan, panggilanku untuk Rain, karena ia begitu
menyukai hujan. Ketika hujan turun, Rain selalu menikmatinya dengan berjalan
dibawah guyuran hujan atau hanya sekedar menengadahkan tangannya untuk
menyentuh sejuknya rinai hujan.
Berbeda halnya dengan Rain yang begitu menyukai
hujan, bagiku hujan adalah petaka. Karena jika hujan hingga malam, maka aku tak
bisa menikmati cahaya jingga yang tamaram di ufuk barat. Ya, senja. Senja
adalah bahagiaku dan aku bahkan tak pernah lupa menikmati indahnya setiap hari.
***
Hari ini setidaknya lebih baik dari
hari-hariku sebelumnya, tak biasanya Rain menyapaku lebih dulu. Ia juga
menebarkan senyum khasnya yang membuatku semakin luluh. Aku merasa selangkah
lebih dekat dengannya.
Malam
pun hadir, seakan ia tahu ada aku yang ingin bercengkrama dengannya.
“Wahai malam yang tak
berbintang, dengarkanlah sajak rinduku
Ketika gelap semakin
pekat,
Kurangkul erat
bayangnya bersama penat,
Kukirimkan nada rinduku
yang syahdu kepada sepoi angin malam,
Aku harap purnama
disana kan merasa, setidaknya ada aku yang selalu merindu pada eloknya.” ujarku memberitahu sang malam.
Selangkah demi selangkah aku merasa semakin dekat
dengannya, entah angin muson apa yang membawanya padaku. Tapi tak kupungkiri
aku bahagia, setiap pagi bertukar senyum dan sesekali bercanda bersama
menikmati waktu senggang di sela-sela pelajaran. Aku menikmati senyum dan
tatapan-tatapannya, meski kutahu semua itu seutuhnya bukan untukku, tapi
setidaknya aku mendapatkan itu.
“Rain, aku yang nyanyi dan kamu yang
main gitar? Boleh yah?” Tanyaku penuh harap.
“Tentu, mau nyanyi lagu apa?” ucapnya dengan senyum
menawan.
“Lagu rindu!” jawabku.
“Baiklah.”
Ia kemudian mulai memetik senar-senar gitarnya, lalu
aku benyanyi dengan penuh perasaanku. Romantisnya..
Setelah semua yang kami lalui, aku
masih tak memiliki keberanian untuk sekedar bercerita tentang perasaanku
padanya. “pendam saja dulu, ini belum saatnya!” batinku.
***
Disaat aku yakin keberuntungan
berpihak kepadaku, namun kenyataannya berkata lain. Di lain hari, aku melihat
Rain bergandengan tangan dengan gadis lain, mesra sekali, dan gadis itu
sepertinya aku kenal.
Oh Tuhan!
Bukankah itu Dera? Gadis yang setiap harinya berbagi bangku denganku, gadis
yang menyebut aku sahabatnya dan gadis yang tahu aku memendam rasa pada
laki-laki tampan yang saat ini menggandeng mesra tangannya itu. Setega inikah
dia?
Aku membisu
menyaksikan semua ini. Senyum dan tatapan-tatapan penuh cinta terpancar dari
mata Rain ketika menatap Dera. Kakiku lemas, badanku ngilu dan lidahku kelu,
sesak sekali.
Mereka melangkah ke arahku, dekat dan
semakin dekat, dan kini mereka telah berdiri dihadapanku.
“Hai Nov, ini pacarku, Dera. Maaf baru sempat kasih tahu kamu soal ini.
Sebenarnya aku sama Dera sudah lama pacaran, tapi gak ada yang tahu,” ujar Rain
tanpa rasa bersalah. Aku tak menjawab, mataku berkaca-kaca, aku yakin sebentar
lagi butir-butir bening ini akan tumpah. Dera yang menyadari reaksiku sedikit
menyimpan rasa tak enak , terlihat dari raut wajahnya.
“Nov, kamu
gak apa-apa kan?” tanya Dera khawatir.
“Aku baik-baik saja, tak usah menghawatirkanku!”
jawabku sembari meninggalkan mereka dan berlari menuju atap, lalu aku
menumpahkan semua pedihku bersama sepi, menangis.
Aku terbangun dari
tidur panjangku,
Dan kudapati kenyataan
yang lama tak kusadari jauh lebih menyakitkan dari yang pernah terbesit dalam
benak sang senja..
Gadis itu..
Gadis yang selalu
berada disampingku ternyata adalah pujaanmu, wahai sang pangeran hujan..
Kau tahu bagaimana aku
ketika menyadari itu? Rasanya aku ingin hilang seketika dari dunia ini.
Aku berlari membawa kepingan-kepingan hati yang
luka. Awan di sana mendung, lalu sepersekian detik kemudian, hujanpun mengguyur
tubuhku yang lunglai dengan derasnya. Hujan yang dulu tak kusuka kini menemaniku
dalam tangis, ia seakan dapat melihat rona sendu di wajahku.
“Hujan, tahukah kau kenapa aku menangis di bawah
rinaimu? Itu karena pengagum yang selalu menikmati rintikmu dengan bahagia itu
telah mematahkan hatiku, menyisahkan kepingan-kepingan yang entah akupun tak
yakin akan bisa merangkainya kembali.”
***
Inilah titik
jenuhku, jenuh setelah setahun lamanya
memendam sendiri rasa ini padanya. Pertama kali jatuh cinta, waktu itu
Ia tampil membawakan sebuah lagu bersama Bandnya, saat acara perpisahan kelas12. Aku menatapnya lekat,
ada rasa yang tak biasa, dan itu cinta.
Lalu ketika
letih menjadi sahabat di ujung sepi, yang membesitkan untuk menjauh dan
meninggalkan rasa yang kumiliki, namun senyum menawan dan mata indahnya selalu
membuatku mampu untuk bertahan dan memberi setitik cahaya yang menuntunku untuk
kembali pada hati yang pernah kuyakini. Tapi kini apa arti semua itu?
Hari-hari terasa berat setelah hujan
pertama awal bulan November lalu. Kini aku memilih menjauh darinya, aku tak
peduli lagi pada rasaku yang mungkin menganggapku lemah karena menyerah begitu
saja setelah memendam semuanya selama satu tahun. Meski bahagia kala mendapat
lengkungan senyum menawan darinya masih selalu terkenang, tapi kini biarkan
semua itu menjadi kenangan.
***
Tanggal 27,
minggu terakhir bulan november. Aku disibukkan dengan latihan menyanyi untuk
pertunjukan musik yang akan diadakan akhir tahun nanti oleh sekolahku. Aku
pikir kesibukkan ini akan membuatku lupa padanya, tapi nyatanya tidak. Rain dan
Bandnya juga ikut serta dalam acara ini, ditambah lagi dengan Dera yang
diajaknya duet. Tak jarang aku melihat mereka latihan, membuatku semakin muak
saja.
Hari ini hari minggu, tak ada aktivitas sekolah,
tapi ini jadwalku untuk latihan menyanyi. Sekolah masih sepi, maklum saja aku
berangkat satu jam lebih awal dari waktu latihan.
Aku melihat
sosok yang tak asing disana. Rain berdiri di depan ruang latihan, kuhentikan
langkah ketika melihatnya. Ia menoleh ke arahku, menatapku lalu melempar
senyum, senyum yang sesungguhnya sangat kurindukan, namun aku hanya bisa
meresponnya dengan ekspresi datar, kemuadian berbalik arah menuju taman
belakang sekolah. Aku tak tahan jika harus berhadapan dengannya, aku takut tak
dapat mengendalikan perasaanku, aku tak ingin menangis di depannya.
Rain kemudian mengejar dan
menghadangku.
“Apa yang kamu
lakukan?
“Minggirlah!
jangan halangi jalanku!” ucapku padanya.
“Kamu akhir-akhir ini beda, kamu semakin
menjauh dari aku semenjak tahu aku dan Dera pacaran, kenapa? Kamu gak suka?”
tanyanya padaku.
“Menurutmu apa?
Sebenarnya jangan tanyakan itu padaku tapi bertanyalah pada dirimu!” Aku segera
berlalu dari hadapannya namun ia menahan tanganku.
“Kau menyukaiku?!
Deg!!
Jantungku
berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya, kalimat ini tak pernah kuprediksi
sebelumnya. Aku gugup, aku tak tahu harus menjawab apa.
“Kau menyukaiku, wahai November?” ulangnya.
Mataku dan matanya bertemu namun aku segera membuang
muka.
“Setelah setahun berlalu, tapi kamu baru
menyadarinya sekarang? Kemana saja kamu, Rain?!” ucapku dengan suara sedikit
bergetar.
“Jadi benar
kamu menyukaiku? Tapi kenapa tak pernah mengatakannya?” tanyanya lagi.
“Maaf, tapi aku tak punya banyak keberanian untuk
sekedar memberitahumu, jadi aku memilih untuk memendamnya sendiri. Kamu tahu?
Kamu adalah sumber dari sajak-sajak indahku, sajak yang tak pernah terbaca
olehmu…” air mataku mulai mengalir perlahan.
“Tapi bukankah sangat menyakitkan memendam semua itu
sendiri?” ia seakan tahu apa yang kurasakan.
“Memang, tapi apa daya? Sudahlah, lupakan saja! Jangan
pedulikan rasaku lagi! Sekarang kamu telah bersama bidadari hatimu itu, biarkan
rasa ini menjadi kenangan yang akan kusimpan sendiri!” Jawabku berpura-pura
tegar.
“Jadi kamu percaya dengan semua itu? kamu cemburu?”
mata Rain memancarkan sinarnya, lalu ia tersenyum puas.
“Apa maksudmu?” tanyaku bingung.
“semua itu hanya sandiwara belaka untuk membuatmu
cemburu,” jawabnya dengan
percaya diri.
“Tapi kenapa? Apa maksud dari semua ini?” aku
semakin bingung.
Kemudian Dera dan teman-temanku muncul di belakangku
dengan membawa kue yang dilapisi krim cokelat dan di atasnya terpasang lilin
yang bertuliskan angka 17. Mereka menyanyikan lagu yang tak asing lagi. Oh,
astaga! Aku lupa hari ini usiaku genap 17 tahun, sweet seventeen. Aku terpaku
menyaksikan semua ini, aku kehabisan kata-kata, kejutan ini tak pernah kuduga
sebelumnya.
“Selamat ulang tahun sahabat terbaikku, maaf untuk
semua kebingungan ini!” Dera memelukku, akupun membalas pelukan sahabatku ini.
Kemudian Dera melepaskan pelukannya dan aku kembali
menatap sosok tampan yang berdiri dihadapanku.
“Selamat ulang tahun, Novemberku. Maaf membuatmu mengeluarkan
banyak air mata untuk kebahagiaan kecil ini,”
Rain berbisik di telingaku,
lalu ia mendekapku dengan erat. Aku meneteskan air mata haru dalam dekapan
hangatnya itu.
“Tapi kalian berhutang penjelasan padaku.” Ucapku.
Rain dan yang lainnya hanya tersenyum.
“Sebenarnya aku dan Dera hanya
bersandiwara dan berbohong padamu tentang hubunganku dengannya. Aku melakukan
itu untuk memastikan kamu benar-benar menyukaiku. Jujur, aku juga menyukaimu.
Tapi aku butuh waktu untuk memastikan rasaku karena tak ingin menyakitimu dan
aku butuh waktu satu tahun untuk mengumpulkan semua keberanian untuk
mengungkapkan semua ini.”
jelas Rain.
“Rain sudah
lama menyukaimu, Nov. Dia sering cerita sama aku, tapi aku gak pernah bilang ke
kamu, Rain bilang belum saatnya kamu tahu tentang perasaannya.” Tambah Dera.
Aku merasa seperti sedang bermimpi, tak percaya
rasanya.
“Tapi kenapa selama ini kamu cuek, Rain? Padahal aku
selalu berharap bisa dekat denganmu.” Ucapku
“Aku pikir dengan cuek padamu bisa menyembunyikan
rasaku. Kamu tahu? Setiap kita berpapasan,
aku sangat ingin menyapamu dan aku ingin berjalan di sampingmu kemanapun kamu
pergi, tapi aku tak berani melakukan semua itu, Nov!”
Pengakuan Rain membuatku melayang ke awan, aku tak
mampu untuk sekedar berkata-kata. Rain kemudian meraih kedua tanganku lalu
digenggamnya erat.
“November, setelah semua yang terpendam ini, maukah
kamu membuat mimpi kita menjadi nyata? Maukah kamu menjadi bidadari hatiku?”
ucap Rain dengan tatapan lembut dan senyum tipis tergores di wajah tampannya.
Aku tersenyum. “Kau tahu? Kau ibarat hujan yang di
nanti oleh bumi yang gersang. Lalu
setelah semua pengorbanan dan lelahku menuliskan sajak-sajak indah untukmu,
bagaimana mungkin aku membiarkanmu berlalu begitu saja? Tak cukupkah semua air mataku untuk meyakinkanmu bahwa aku
ingin menjadi satu-satunya bintang yang ada dihatimu?”
Rain kembali mendekapku dengan eratnya seakan tak
peduli pada semua tatapan Dera serta anak-anak lain yang tertuju pada kami.
“Aku menyayangimu, terima kasih untuk semua
kebahagiaan ini,”
bisikku lembut padanya.
***
Senja, kau tahu? Kini aku dan dia
menjadi kita. Setelah melewati skenario panjang dengan klimaks dan anti klimaks
yang tak terduga sebelumnya, aku dan dia sampai di ujung cerita yang berakhir
bahagia. Rasaku untuknya terbalaskan, bukan lagi cinta sendiri atau cinta
sepihak.
“Rain, kau
adalah hadiah terindah untukku…”
0 comments:
Post a Comment